Tugas Kelompok Dosen
Pembimbing
Tindak
Pidana Korupsi FIRDAUS, SH, MH
KORUPSI DITINJAU DARI
PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
DI SUSUN OLEH:
AKMAL RUDIN
MUHAMAD QODRI
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur
alhamdulillah penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan
salam tak lupa pula penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus
untuk menjadi rahmat sekalian alam. Seiring dengan itu, tidak lupa penulis
ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi
dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini
menjelaskan secara ringkas Mengenai Korupsi ditinjau
dari perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Akan tetapi, Penulis
menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Karena “Tak ada gading yang tak
retak”. Setiap kesalahan tidak akan luput dalam penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, saran
dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
ini dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Pekanbaru, 15 April 2013
Penulis
Daftar isi
Kata pengantar...................................................................................................................... i
Daftar
isi................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang................................................................................................................ 1
B. Rumusan masalah............................................................................................................ 2
B. Rumusan masalah............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Korupsi dalam Islam...................................................................................... 2
B.
Hukum Korupsi menurut Islam........................................................................................ 11
C.
Pengertian Korupsi dalam Hukum Positif......................................................................... 19
D. Hukum
Positif dalam menanggapi Kasus ini...................................................................... 19
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan..................................................................................................................... 20
B. Saran.............................................................................................................................. 21
B. Saran.............................................................................................................................. 21
Daftar
Pustaka....................................................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Korupsi
adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah
ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.[1] Korupsi
dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud
dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang berlaku di Malaysia
korupsi diartikan sebagai reswah yang dalam bahasa Arab bermakna suap.[2] Berbeda
dengan korupsi dan suap, hadiah sesungguhnya adalah sebuah perbuatan yang tidak
melanggar. Tetapi dalam hal ini perlu untuk meneliti apa sesungguhnya kriteria
hadiah yang tidak merupakan korupsi ataupun suap.
Salah
satu tanggung jawab dan beban tugas yang harus dipikul dalam bidang politik
hukum Islam, adalah mengkaji tentang korupsi dan sanksinya, karena di satu sisi
para pelaku korupsi banyak yang beragama Islam dan di sisi lain dalam
kitab-kitab fiqh klasik sulit ditemukan term korupsi, baik mengenai konsep maupun
sanksinya, yang banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik berkenaan dengan
tindakan kriminal dalam masalah harta adalah pencurian (al sariqoh), dan
perampokan (al hirabah). Apakah tindakan korupsi dikategorian sebagai
pencurian, perampokan, atau sesuatu yang lain?. Berbagai pendapat mengenai
korupsi ini memang tidak menimbulkan perpecahan yang cukup besar dalam kalangan
umat Islam pada umumnya. Tetapi rumusan atau kesatuan pendapat mengenai apa
sebenarnya konsepsi korupsi menurut Hukum Islam sangatlah perlu dicari, Hal ini
berguna bagi ulil amri (penguasa/pemimpin) dalam merumuskan sanksi yang tepat
bagi korupsi. Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai konsepsi korupsi dalam perspektif Hukum Islam.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.
Apakah Korupsi dalam hukum islam?
2. Bagaimana
hukuman Korupsi dalam islam?
3. Apakah Korupsi dalam hukum positif?
4. Bagaimana hukuman Korupsi dalam hukum positif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
KORUPSI DALAM ISLAM
Korupsi
adalah suatu jenis penjambretan dan perampasan, karena pada mulanya si pelaku
berbuat secara sembunyi-sembunyi. Korupsi tidak sama dengan pencurian, karena
itu syari’at tidak menetapkan hukum potong tangan bagi pelakunya. Dari Jabir
bin Abdullah sesungguhnya Rasulullah bersabda :
“Tidak
ada bagi khâin(=penghianat, org yang mengambil harta secara sembunyi dan
menampakkan kebaikan kepada pemilik barang),
muntahib (org yang mengambil barang dengan kekerasan, merampas) dan mukhtalis
(=orang yg mengambil barang dengan cara tipuan, sembunyi-sembunyi) hukuman potong tangan”.
Pada Surat Al-Baqarah ayat 188 disebutkan secara umum bahwa Allah Swt.
melarang untuk memakan harta orang lain secara batil. Qurtubi memasukkan dalam
kategori larangan ayat ini adalah: riba, penipuan, ghasab, pelanggaran
hak-hak, dan apa yang menyebabkan pemilik harta tidak senang, dan seluruh apa
yang dilarang oleh syariat dalam bentuk apapun.[3]
Al-Jassas mengatakan bahwa pengambilan harta orang lain dengan jalan batil ini
bisa dalam dua bentuk:
1.
Mengambil dengan cara
zhalim, pencurian, khianat, dan ghasab (menggunakan hak orang lain tanpa
izin).
2.
Mengambil atau
mendapatkan harta dari pekerjaan-pekerjaan yang terlarang, seperti dari
bunga/riba, hasil penjualan khamar, babi, dan lain-lain.[4]
Asbabunnuzul ayat ini
diturunkan kepada Abdan bin Asywa’ al-Hadhramy menuduh bahwa ia yang berhak
atas harta yang ada di tangan al-Qais al-Kindy, sehingga keduanya bertengkar di
hadapan Nabi Saw. Al-Qais membantah dan ia mau bersumpah untuk membantah hal
tersebut, akan tetapi turunlah ayat ini yang akhirnya Qais tidak jadi bersumpah
dan menyerahkan harta Abdan dengan kerelaan.[5]
Pokok permasalahan
dalam ayat di atas adalah larang memakan harta orang lain secara umum dengan
jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke depan hakim, sedangkan jelas harta
yang diambil tersebut milik orang lain. Korupsi adalah salah satu bentuk
pengambilan harta orang lain yang bersifat khusus. Dalil umum di atas adalah
cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah satu bentuk khusus dari
pengambilan harta orang lain. Ayat di atas secara tegas menjelaskan larangan
untuk mengambil harta orang lain yang bukan menjadi haknya.
Selanjutnya pada surat
Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang
bermakna khianat.[6]
Maksudnya mengkhianati kepercayaan Allah Swt. dan manusia,[7]
terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghanimah. Lebih jelas
Ibnu Katsir menyebutkan dari Aufy dari Ibnu Abbas bahwa ghulul adalah membagi
sebagian hasil rampasan perang kepada sebagian orang sedangkan sebagian lagi
tidak diberikan.[8]
Asbabunnuzul ayat ini adalah
ketika sebuah harta rampasan perang setelah perang badar hilang, orang-orang
munafiq menuduh bahwasanya Nabi Saw. menggelapkan barang tersebut, sehingga
turunlah ayat ini.[9]
Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat
dalam segala bentuk.[10]
Ibnu Arabi menyebutkan bahwa secara bahasa makna ghulul ada tiga, yaitu
khianat, busuk hati, dan khianat terhadap amanat ghanimah.[11] Ayat
ini secara khusus ditujukan kepada Nabi Saw. tentang keadilan di dalam
pembagian harta ghanimah yang berasal dari rampasan perang, akan tetapi maksud
ayat ini ditujukan umum kepada seluruh umat Islam. Ketika Muadz diutus ke
Yaman, Rasulullah Saw. juga memberikan nasehat untuk tidak berlaku ghulul,
sebagaimana disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Ayat ini secara
spesifik memang hanya membahas tentang penyalahgunaan harta bersama untuk
dikuasai sendiri, akan tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang tidak
boleh berlaku khianat atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan salah
satu makna korupsi bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan terhadap harta
orang lain atau masyarakat.
Analog korupsi dengan ghulul
menurut penulis adalah cukup dekat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.
Korupsi adalah
penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga
merupakan penyalahgunaan harta negara, karena memang pemasukan harta negara
pada zaman Nabi Saw. adalah ghanimah. Adapun saat ini permasalahan uang
negara berkembang tidak hanya pada ghanimah, tetapi semua bentuk uang
negara.
2.
Korupsi dilakukan oleh
pejabat yang terkait, demikian juga ghulul merupakan pengkhianatan jabatan oleh
pejabat yang terkait.
Selanjutnya di dalam Surat Al-Maidah ayat 33 dan 38 disebutkan secara
khusus tentang hirabah[12] dan sariqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain
dengan terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara
melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan yang kedua adalah pengambilan
harta orang lain atau pencurian dengan diam-diam.[13] Abd al-Qadir ‘Awdah[14] mendefinisikan hirabah sebagai perampokan (qath,u at-thuruq) atau
pencurian besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sariqah)
memang tidak sama persis dengan hirabah. Hirabah mempunyai dampak
lebih besar karena dilakukan dengan berlebihan. Hal ini karena hirabah kadang
disertai dengan pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja
tanpa pengambilan harta.
Secara khusus korupsi adalah identik dengan pencurian atau sariqah,
akan tetapi pelaksanaan korupsi disertai dengan berbagai macam dalih yang lebih
membutuhkan penelitian dan pembuktian. Korupsi memberikan dampak negatif yang
sangat besar di masyarakat, apalagi dengan kasus-kasus yang saat ini terjadi di
Indonesia. Korupsi tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi
telah menjadi ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan
sosial masyarakat. Oleh karena itu menurut penulis korupsi berdasarkan hal ini
secara illat korupsi lebih condong kepada hirabah.
Dalam hukuman bagi pelaku sariqah dan hirabah juga berbeda.
Menurut penulis pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor bisa mengambil landasan
dari ayat hirabah ini. Karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan
disertai pemberatan dan penghalalan segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam
delik hirabah ini. Berbeda dengan pasal pencurian yang hanya dengan potong
tangan. Pencurian relatif lebih kecil dibandingan dengan hirabah. Demikian juga
dengan apabila dibandingkan dengan korupsi. Pencurian biasa yang dilakukan oleh
seorang kriminal murni mungkin relatif lebih kecil dampaknya jika dibandingkan
dengan korupsi yang akan membahayakan banyak orang dan bahkan negara.
Selanjutnya yang termasuk dalam kategori korupsi adalah ghasab. Ayat
79 dari surat Al-Kahfi adalah menceritakan seorang raja yang zalim yang akan
mengambil kapal dari orang-orang miskin dengan jalan ghasab. Seorang
alim yang dikisahkan dalam ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar supaya
tidak bisa dimanfaatkan dengan tidak halal (ghasab) oleh raja yang zalim
tersebut.[15]
Pengertian ghasab adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan dengan
jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghasab dilakukan
dengan terang-terangan sedangkan ketika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka
dinamakan pencurian.[16]
Hanya ghasab ini kadang berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang
dikembalikan kepada pemiliknya.[17]
Menganalogikan ghasab sebagai salah satu bentuk korupsi dengan
alasan bahwa ayat di atas menceritakan bagaimana seorang raja yang semena-mena
dapat dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya yang miskin dengan
memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk kepentingan pribadinya. Pada
kasus ini ada unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan menggunakan hak
rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.
Semua bentuk-bentuk pengambilan hak orang lain di atas jelas-jelas telah
dilarang dan diwanti-wanti oleh Rasulullah ketika haji wada’[18]
dengan sabda Beliau: Artinya: Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, dan
kehormatan-kehormatanmu adalah haram bagimu sebagaimana haramnya hari kalian
ini di dalam bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.
Pembahasan selanjutnya adalah tentang suap (risywah) yang terdapat di dalam
Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Majah. Pengertian
suap menurut Ibnu al-Qayyim adalah sebuah perantara untuk dapat memudahkan
urusan dengan pemberian sesuatu atau pemberian untuk membatalkan yang benar
atau untuk membenarkan yang batil.[19] Ayat
di atas mengaitkan kata suap dengan kata hukum. Bahwa penyuapan adalah dilakukan
demi mengharapkan kemenangan dalam perkara yang diinginkan seseorang, atau
ingin memudahkan seseorang dalam menguasai hak atas sesuatu.
Lebih lanjut dijelaskan apabila pemberian tersebut dimaksudkan untuk
menuntut hak atau menghindarkan diri dari dizhalimi maka menurut beliau hal
tersebut tidak apa-apa dan bukan kategori suap yang dilaknat. Hanya saja
pendapat ini dibantah oleh Syaukani yang mengatakan bahwa pengkhususan tentang
pemberian untuk menuntut hak tidak memiliki dasar yang jelas, yang benar
menurut beliau kembali kepada keumuman Hadits yang menyebutkan larangan segala
bentuk pemberian dalam bentuk suap.[20]
Selanjutnya pembahasan terakhir dalam kajian ini adalah tentang hadiah. Di
atas telah dijelaskan bahwa hadiah adalah pemberian yang bisa bermaksud
kenang-kenangan, penghargaan dan penghormatan.[21] Adapun
hadiah dalam pengertian fiqih Islam hampir sama dengan hibah, yaitu pemberian
sesuatu untuk memuliakan seseorang tanpa mengharap balasan.[22] Akan
tetapi menurut Sayyid Sabiq hadiah sebaiknya orang yang diberi memberikan
balasan setelah diberi hadiah[23].
Hadits di awal menyebutkan bahwa seandainya Nabi Saw. diundang untuk menerima kura’
(bagian lengan sampai dengan siku dari binatang seperti kambing)[24]
maka beliau akan datang. Hal ini menunjukkan penghargaan beliau untuk menerima
pemberian ataupun hadiah.
Pada Hadits di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. senang untuk menerima
hadiah, bahkan juga dari orang kafir yang bukan kafir harbi[25].
Hal ini berdasarkan sebuah Hadits.[26]
Dalam permasalahan hadiah ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama
tentang apakah hadiah harus dibalas dengan hadiah ataukah tidak mesti harus
dibalas. Dalam hadits dari Abu Hurairah dijelaskan dalam bentuk kalimah:
Artinya saling memberikan hadiah. Namun belakangan dalam qaul jadid Imam
Syafi’i sebagaimana dikutip Syaukani[27] bahwa
pemberian untuk mengharapkan diberi balasan dari orang yang diberi adalah
batil, karena merupakan bentuk jual beli terselubung yang tidak ada keridhaan
dan saling menyenangkan.
Pemberian hadiah dan pemberian suap adalah dua bentuk pekerjaan yang dalam
prakteknya banyak orang mengaburkan sifat dan fungsi keduanya. Masing-masing
sesungguhnya berada pada dua sisi yang berbeda dalam kedudukannya dalam hukum
Islam. Hadiah sesungguhnya adalah pekerjaan mubah bahkan sunnah yang dianjurkan
Nabi Saw., bahkan menurut Khitabi sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa
Hadits yang melarang menerima hadiah dari orang kafir telah dihapus dengan
perbuatan Nabi Saw yang menerima hadiah lebih dari satu kali dari orang-orang
kafir.[28]
Sedangkan suap adalah pekerjaan yang dilarang dan pelaku dan penerimanya
adalah dilaknat. Walaupun kadang tampak pemberian suap ini seperti hadiah
tetapi sesungguhnya suap akan selalu terkait dengan permasalahan hukum atau
pelaksanaan hak-hak dan kewajiban orang yang memberi dan yang diberi. Oleh
karena itu menurut penulis wajar jika ada aturan bagi pejabat-pejabat
pemerintahan atau hukum untuk tidak menerima apapun dari orang yang berhubungan
dengan mereka walaupun itu kadang dinamakan dengan hadiah. Ada sebuah kaedah
yang berbunyi, Artinya: Sesuatu yang mubah jika menyebabkan atau mengarahkan
kepada yang haram maka hukumnya haram.[29]
Dalam hal pemberian hibah atau hadiah adalah pekerjaan mubah yang
dibolehkan, akan tetapi jika pekerjaan yang bersifat mubah ini menyebabkan ke
arah penyuapan atau menyebabkan tidak adilnya seseorang dalam menetapkan
hak-hak dan kewajiban atau tidak adil dalam menetapkan hukum, maka hukum
pemberian ini bisa menjadi haram.
Kesimpulannya, korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak defenisi
yang sesuai dengan pemahaman dari Al-Quran, Hadits dan juga Fiqih Islam. Pada
hakekatnya defenisi korupsi adalah usaha memperkaya diri sendiri atau orang
lain dengan jalan melanggar hukum. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran hukum
tersebut adalah bisa berupa ghulul, pencurian (sariqah),
perampokan (hirabah), menggunakan barang orang lain tanpa izin (ghasab),
suap (risywah). Hanya saja menurut penulis jika perbuatan korupsi
jelas-jelas mengarah kepada perusakan makro ekonomi dan sosial negara, maka hal
tersebut layak untuk ditetapkan sebagai kategori hirabah. Hukuman bagi
pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan sampai hukuman mati.
Korupsi
adalah perbuatan haram yang haramnya lebih berat jika kejahatan itu dilakukan
terhadap harta kekayaan milik umum. Rasulullah SAW bersabda :
“Hai
manusia, siapa saja diantara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami
(menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap
kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya
itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti. … Siapa yang kami beri tugas hendaknya
ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang kami beri padanya dari
hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah ia ambil”.
Syariat
Islam memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi, antara
lain:
Pertama,
sistem penggajian yang layak. Kita bisa membayangkan bagaimana mungkin gaji 57
ribu tenaga kerja asing di Indonesia sama dengan gaji 4 juta tenaga kerja lokal
(1: 70) padahal para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan
hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah
tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang
layak. Rasul bersabda: “Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak
mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah;
jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki
kendaraan hendaknya diberi… Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat
curang atau pencuri”. (HR Abu Dawud).
Dalam riwayat Al
Hakim:
“Barang
siapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka
apa yang diambil selain gaji itu adalah kecurangan”. (hadits shahih menurut
syarat syaikhain (Bukhary dan Muslim) namun mereka tidak mengeluarkannya)
Kedua,
larangan menerima hadiah. Hadiah–atau sering dinyatakan sebagai “hibah”–yang
diberikan kepada aparat pemerintah bisa membuat aparat pemerintah tersebut
terpengaruh dalam mengambil keputusan atau memberikan pelayanan.
Ketiga,
perhitungan kekayaan. Untuk menghindari tindakan curang, perhitungan kekayaan
para pejabat harus dilakukan di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan
yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu
benar-benar halal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik
yang sebenarnya efektif mencegah aparat berbuat curang. Akan tetapi, anehnya
cara ini justru ditentang untuk dimasukkan ke dalam perundang-undangan.
Keempat,
penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan
membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka
peluang korupsi. Demikian juga dengan prosedur hukum yang diskriminatif,
misalnya memeriksa pejabat tinggi atau anggota DPR harus seizin kepala negara.
Akibatnya, tidak jarang jika korupsi menyentuh lapisan elit itu, penyidikan
biasanya terhenti. Dalam Islam, aturan yang membedakan pejabat tinggi dari
rakyat biasa ini tidak dikenal.
Kelima,
hukuman setimpal. Secara naluriah, orang akan takut menerima risiko yang tidak
sebanding dengan apa yang diperolehnya. Risiko dalam bentuk hukuman berfungsi
sebagai pencegah. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zîr, yaitu hakim
bisa mencari bentuk hukuman yang diperkirakan paling efektif bagi kasus
tersebut, misalnya berupa tasyhîr (pewartaan), penyitaan harta, pemecatan,
kurungan, kerja paksa, sampai hukuman mati.
B. HUKUM
KORUPSI MENURUT ISLAM
Salah
satu penyakit dan ancaman sosial yang sangat laten adalah pencurian dalam
berbagai manivestasi dan bentuknya, baik milik pribadi, milik orang lain,
maupun milik umum (publik), baik secara langsung maupun melalui jabatan,
otoritas dan fasilitas politik dan hukum yang dimilikinya, sehingga seorang
pakar menyebut bangsa yang teridap wabah hobi bersama “mencuri rame-rame” dari
yang kecil-kecilan sampai korupsi kelas kakap sebagai bangsa cleptomania,
seperti bangsa Indonesia ini. Para koruptor lebih suka korupsi rame-rame,
seolah berprinsip meminjam slogan sebuah iklan “nikmatnya rame-rame” sehingga
sulit ditindak. Tindak kejahatan penyelewengan dan penilepan harta milik publik
apa yang dikenal sebagai tindakan korupsi (corruption) sebenarnya dari bahasa
latin (corruptio yang artinya ‘penyuapan’; dari corrumpere yang artinya
‘merusak’). Korupsi merupakan perbuatan tercela berupa penyelewengan dana,
wewenang, amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni,
dan kelompoknya yang dapat merugikan negara atau pihak lain.
Syariat
Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia apa yang
disebut sebagai maqashidusy syari’ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju
tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran
dan penyelewengan. Hukum perbuatan korupsi, menurut pendapat ulama fiqih,
secara aklamasi dan konsensus (ijma’) adalah haram karena bertentangan dengan
prinsip maqashidusyi syari’ah. Keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat
ditinjau dari berbagai segi antara lain sebagai berikut.
Pertama:
korupsi adalah perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan
negara dan kepentingan publik (masyarakat) yang dikecam oleh Allah S.W.T. Dalam
surah al-Imran: 161 dengan hukuman setimpal di akhirat. Ayat ini turun
berkaitan peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu
Jarir yaitu hilangnya sehelai kain wol merah yang diperoleh dari rampasan
perang. Setelah dicari, sehelai kain itu tidak ada dalam catatan inventaris
harta rampasan perang sehingga ada yang lancang berkata, “Mungkin Rasulullah
SAW sendiri yang mengambil kain itu untuk dirinya.” Agar tuduhan tersebut tidak
menimbulkan keresahan dikalangan umat islam dan membersihkan citra beliau maka
turunlah ayat tersebut diatas yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
mungkin berlaku korup dan curang dalam amanah harta publik berupa rampasan
perang. Bahkan Nabi mengancam siapapun yang mengkorup harta milik negara
(ghulul) akan menjadi bara api nantinya di neraka dan demikian pula amalnya
yang berasal dari hasil khalifah Umar bin Abdul Aziz (63-102 H) yang
memerintahkan kepada putrinya untuk mengembalikan kalung emas yang dihibahkan
oleh pengawas perbendaharaan negara (baitulmal) sebagai tanda jasa dan
penghormatan kepada ayahnya.
Kedua:
perbuatan korupsi berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya
diri sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan
sumpah jabatan. Mengkhianati amanat adalah perbuatan dosa dan salah satu
karakter munafik yang dibenci Allah S.W.T sehingga hukumannya haram (al-Anfaal:
27 dan an-Nisaa: 58).
Ketiga:
perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dan orang lain dari harta negara adalah
perbuatan zalim, karena kekayaan negara adalah harta publik yang berasal dari
jerih payah masyarakat termasuk kaum miskin dan rakyat kecil. Perbuatan zalim
ini patut mendapatkan azab yang pedih (az-Zhukruf: 65).
Keempat:
termasuk kategori korupsi adalah tindakan kolusi dengan memberikan fasilitas
negara seseorang yang tidak berhak karena deal-deal tertentu, seperti menerima
suap (pemberian) dari pihak yang diuntungkannya tersebut. Perbuatan ini sangat
dikutuk Nabi SAW dalam sabdanya, “Allah melaknat orang yang menyuap dan
menerima suap.” Dalam riwayat lain disebutkan “ Dan perantaranya” (HR. Ahmad).
Dan, peringatan beliau dalam sabdanya, “barang siapa yang telah aku pekerjakan
dalam suatu jabatan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang dipungutnya tanpa
sah diluar gajinya adalah korupsi (ghulul).” (HR. Abu Dawud).
Adapun
hukum memanfaatkan hasil korupsi, termasuk memakainya untuk konsumsi atau
belanja pribadi dan keluarga, sumbangan sosial dan biaya ibadah, atau
kepentingan lainnya, hukumnya sama dengan memanfaatkan harta hasil usaha yang
haram seperti judi, mencuri, menipu, merampok, dan sebagainya. Dalam hal ini,
ulama fiqih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh secara ilegal,
tidak sah dan haram adalah haram, juga sebab pada prinsipnya harta tersebut
bukan hak miliknya yang sah sehingga tidak berhak untuk menggunakannya meskipun
dijalan kebaikan (al-Baqarah: 188 dan Ali Imran: 130). Sebagaimana ketentuan
kaidah fiqih yang menyatakan, “setiap sesuatu yang haram mengambilnya maka
haram pula memberikan/memanfaatkannya.” Pendapat dan ketentuan ini juga
didukung oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan harta tersebut harus dikembalikan
kepada kepemilikan publik atau negara. Berdasarkan hadist tersebut diatas maka
menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tidak sah solat dan haji serta ibadah lainnya
yang menggunakan harta hasil korupsi. Disamping itu, dalil lain menguatkannya
seperti hadist Nabi SAW, “sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima
kecuali yang baik.” (HR ath-Thabrani) dan sabdanya, “jika seseorang menunaikan
haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai melantunkan
seruan Talbiyah, datanglah seruan dari langit, Allah akan menyambut dan
menerima kedatanganmu dan semoga kamu bahagia. Pembekalanmu halal, kendaraanmu
halal, maka hajimu diterima dan tidak tercampur dosa. Sebaliknya, jika pergi
haji dengan harta yang haram, maka hajimu berdosa dan jauh dari pahala.” (HR
ath-Thabrani). Sebab, ibadah dan
kegiatan sosial bukan sebagai sarana penyucian uang haram (Money Laundring) dan
bukan sarana pencitraan diri yang korup sebagai manusia suci.
Dengan
demikian, sangat logis bila hukumannya sangat berat menimbang prinsip maslahat
tersebut. Para ulama fiqih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga
kelompok yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana
Takdzir yang hukumannya diserahkan kepada hakim menurut kemaslahatan yang
semestinya dan dapat lebih ringan, sama maupun lebih berat dari hukuman hudud
bergantung kepada kasus dan kemudaratannya. Tindak pidana korupsi termasuk
dalam kategori tindak pidana Takdzir meskipun secara umum ada kesamaan dengan
pencurian yang hukuman hudud-nya berupa potong tangan dengan memenuhi kriteria
dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, penentuan sanksi hukuman Takdzir
korupsi, baik jenis, untuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang harus
tetap mengacu kepada maqashidusy syariah
sehingga dapat memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak
melakukannya. Sebagai ilustrasi hukuman korupsi, penerapan hukuman takzir dalam
sejarah peradilan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Abdul Qadir Audah (w.
1945) ahli pidana Islam Mesir dalam Tasyri Jina’-nya dibagi menjadi dua bentuk
yaitu 1, takdzir’alal ma’ashi (terhadap perbuatan maksiat) dan 2, takdzir ‘ala
mashlahah ‘amah (terhadap pelanggaran kepentingan umum).
Bagi
para pelaku KKN di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat merugikan
negara maka hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang
dilakukannya, sesuai amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang
ditimbulkannya serta kesalahan lain yang didukungnya. Dan, tentunya ia dapat
dihukum berat bahkan sampai tingkat hukuman mati bila perlu dan bukan hanya
sebatas hukuman potong tangan untuk menjerakan masyarakat dari praktik korupsi
dan menyehatkan perekonomian sebagaimana telah dilaksanakan di negara-negara
lain seperti Cina, Jepang, dan Korea Utara. Namun masalahnya adalah para
penegak dan aparat hukum serta petinggi negara harus memberi contoh sebagai
clean govenrment yang bebas dari KKN sehingga mampu memberantas koruptor dan
menghukum berat para koruptor tanpa pandang bulu, seperti yang dicontohkan oleh
Umar bin Abdul Aziz dan Khulafaur Rasyidin sebelumnya serta maklumat Nabi SAW.
yang menyatakan bahwa sekalipun putrinya sendiri mencuri niscaya akan
dilaksanakan hukuman potong tangan. Dengan demikian, terbuktilah bahwa syariat
Islam sebenarnya bernilai universal dan selalu rahmatan lil ‘alamin.
C.
PENGERTIAN KORUPSI
DALAM HUKUM POSITIF
Kata koropsi berasal dari bahasa
latin corruptio atau corroptus yang berarti merusak, tidak jujur (bohong),
dapat disuap, atau sesuatu yang rusak atau hancur. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
menyebutka korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan uang Negara atau
perusahaan dan sebaginya untuk keuntungan pribadi dan orang lain. Bahasa inggris
menyebutkan a corrupt manuscript yang berarti naskah yang rusak dan juga dapat
digunakan kerusakan tingkah laku (immoral) atau tidak jujur (dishonest), juga
tidak besih (impure).
1) Sayyid Hussein alatas menegaskan
“esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang
menghianati kepercayaan”.
2) Azyumardi Azra mendefenisikan
“penggunaan kekuasaan public (public power) untuk mendapatkan keuntungan
(material) pribadi atau kemanfaatan politik.
Secara yuridis dalam Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, pasal 2 ayat 1
"perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau satu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan dalam pasal
tiga juga disebutkan bahwa "korupsi adalah setiap tindakan dengan tujuan
menguntukan diri sendiri atau orang lain atau satu koperasi, menyalah gunakan
wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
1. MODUS-MODUS KORUPSI
Banyak para pakar yang memberikan
bahwa korupsi memiliki berbagai modus diantaranya adalah Amien Rais mantan
ketua MPR dan mantan ketua PP Muhammadiah dan Alatas. Amien Rais menyebutkan
ada empat modus korupsi yitu:
a. korupsi ekstortif
adalah korupsi dengan modus sogokan atau suap yang dilakukan
oleh pengusaha kepada pengusaha, untuk mendapatkan fasilitas tertentu.
b. korupsi manipulative
mengandung arti permitaan seseorang kepada pejabat
legislative atau pejabat eksekutif untuk membuat regulasi atau peraturan
tertentu yang dapat menguntungkan orag tersebut meskipun itu berdampak negative
bagi masyarakat luas.
c. korupsi nepotistic
yaitu korupsi dikernakan adnya ikatan keluarga , seperti dia
memiliki keluarga yang ia berikan fasilitas yang berlebihan atau di terima
menjadi pegawai tanpa ada pertimbangan atau hal-hal yang patut untuk dia
menyandang predikat tersebut.
d. korupsi subversive
yaitu perampokan kekayaan Negara secara sewenang-wenang
untuk dialihkan kepada pihak asing untuk kepentingan pribadi.
Kemudian Alan memberikan modus-modus
korupsi membagi kedalam enam modus yaitu:
a. transaktif
korupsi yang ditandai adanya jesepakatan timbale balik
antara pihak pembeli dan penerima keuntungan beersama, dan kedua-duanya
sama-sama aktif dalam menjalankan perbuatan ini.
b.
investif
modus korupsi yang melibatkan penawaran barang atau jasa
tertentu agar pekerjaan atau tugas si pemberi jasa mendapatkan keuntungan
sebanyak munkin.
c. Ekstroktif
bentuk korupsi dengan cara menyertakan bentuk-bentuk
pemaksaan dari pihak tertentu untuk melakukan penyuapan dengan cara memberikan
sejumlah uang atau jasa untuk menutupi kerugian yang mengancam dirinya.
d. Autogenetic
modus korupsi yan menggunakan
kesempatan untuk memperoleh keutnunga dari pengetahuan dan pemahaman atas
sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
e. Supportif
dengan cara menciptakan suasana kondusif dengan cara
menciptakan suasana kondusif untuk melindungi atau mempertahankan kelangsungan
tindak pidana korupsi tertentu.
Modus-modus lain juga dikemukakan United
Nation Office on Drugh and Crime, sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) ada sembilan modus korupsi;
1. korupsi besar dan kecil
2. korupsi aktif dan tidak aktif
3. korupsi suap dalam bebagai bentuk
dan tujuannya
4. korupsi dengan modus penggelapan
5. korupsi bermodus pemerasan
6. korupsi bermodus penyalah gunaan
kekuasaan
7. korupsi dengan modus favoritisme
8. korupsi dengan modus membuat atau
mengeksploitasi kepentingan yang saling bertentangan
9. korupsi yangbermodus kontribusi
politik yang berlebihan dan tidak tepat.
Dari modus-modus diatas sebenarnya
apayang menyebabkan korupsi begitu subur dinegara tercita ini, padahal di
Negara-negara Asia Indonesia adalah Negara pertama yang memilki undang-undang
tinadak pidana korupsi sejak tahun 1957. Yang menjadi pertanyaan besar
sekarang ini adalah kenapa korupsi begitu marak di negeri tercinta ini?.
Masalah korupsi bias disebabkan banyak sebab, baik individual maupun social,
diantaranya adalah kemiskinan, moral yang kurang, kekuasaan, budaya, ketidak
tahuan, lemahnya kelembagaan politik, adanya kesempatan, penyakit bersama, dan
berbagai jenis lainnya. Penyakit itulah yang menyebabkan korupsi semakin tumbuh
liar tak terkendalaikan, bahkan yang lebih parah lagi adalah banyak koruptor
yang menganggap hal ini sebagai kebiasaan yang sudah lumrah, sehingga dia tidak
merasa berdasa ketiaka ia terjerumus dalam masalah ini, bahkan banyak tersengka
yang tidak malu bahwa dia tidak mengakui bahwa sanya dia korpsi, padahal fakta
telah membuktikan dia bersalah. Dan yang paling terpenting adalah korupsi
banyak terjadi dikernakan menipisnya keimanan sehingga ia tidak malu
menghianati kepercaan masyarakat, dan amanah masyarakat dan tuhannya.
Jika sebab-sebab diatas
disimplifikasikan, modus-modus korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal:
1.
corruption by greed
korupsi karena keserakahan, rasa
tidak puas apa yang telah ia miliki, dan senantiasa ingin ia perolaeh dengan
menghalalkan segala cara.
2. corruption by need
korupsi dikernakan kebutuhan, yaitu kebutuhan yang amat ia
perlukan yang tidak dapat tidak, maka dia dengan terpaksa mengambil yang bukan
haknya, disinilah kita perlu memperhatikan pegawai atau burh kita yang
kehidupannya kurang memadai dan di bawah wajar.
3. corruption by chance
korupsi dikernakan ada peluang atau kesempatan, disinilah
letak pentingnya undang-undang yang disususn untuk mempersempit kesempatan
gerak-gerik para koruptor.
D. HUKUM POSITIF DALAM MENANGGAPI KASUS
INI
Banyak undang-undang pidana yang
mengatur masalah korupsi ini sebagai mana Peraturan Penguasa Militer No.
PRT/PM/061957 tentang tindak pidana koupsi. Tahun 1967 terbit undang-undang No.
24/Prp/1967 dan Kepres No. 228/1967 tentang pemberantasan korupsi. Demikian
seterusnya sampai pada tahun 1998 terbit TAP MPR No. XI/MPR1998 tentang
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, tahun 1999 terbit UU No. 28/1999
tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU No. 31/1999
tentang pembarantasan tindak pidana korupsi, tahun 2002 terbit UU No. 30/2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2004 terbit kepres No.
59/2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan tahun 2005
terbit kepres No. 11/2005 tentang tim koordinasi pemberantasan Tipikor.
Dalam perspektif hokum positif di
Indonesia, defenisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31
tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001, dan dalam UU tersebiut juga disebutkan
sanksi bagi yang melanggar.
Seperti perseorangan atau korporasi
yang melawan hokum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi
yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara dipidana penjara seumur
hidup, atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00, bahkan
dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi pidana mati. Sedangkan perorangan atau
korporasi menyalahgunkan kewenangan, kesempatan atau pasilitas yang ada
padanya, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 dan
paling banyak Rp 1.000.000.00
Dalam UU No. 20 tahun 2001
disebutkan bahwa menyuap pegawai negeri adalah korupsi, dan pelakunya di ancam
dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000.00 dan paling banyak Rp 250.000.000.00 dan memberi
hadiah kepada pegawai negeri juga termasuk korupsi. Jadi segala bentuk
penyuapan digolongkan kepada korupsi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perlunya
hukuman yang berat bagi para pelaku korupsi karena dapat menyengsarakan
kehidupan raktyat, tidak hanya hukum potong tangan, tetapi perlu hukuman mati
bagi para pelaku korupsi di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat
merugikan negara maka hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang
dilakukannya, sesuai amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang
ditimbulkannya serta kesalahan lain yang didukungnya.
Dari penjabaran di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa korupsi adalah Dari bahasa latin , seperti: dalam
bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda,
menjadi corruptie. Arti harfiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidak jujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti dari kesucian, dapat
disuap. Poerwadarminta mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Seorang yang melakukan korupsi itu
harus melawan Hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, dapat
merugikan keuangan negara suatu perekonomian negara, bertujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya.
Setidaknya ada tigal hal yang yang
tercederai dalam korupsi:
1.
korupsi mengabadikan diskriminasi
2.
korupsi mencegah perwujudan pemenuhan hak ekonomi, social,
dan budaya rakyat, terutama rakyat miskin
3.
korupsi memimpin kearah pelanggaran hak sipil polotik warga
Yang lebih menyedihkan bahwa korupsi
telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dengan merampok dan membunuh masa depan
masyarakat dan Negara secara perlahan-lahan tapi pasti.
B.
SARAN
Bagi
para pemimpin bangsa seharusnya mempunyai bekal ilmu agama yang kuat agar tidak
mudah terjerumus kepada hal-hal yang
tidak baik, dan dapat menjadi
sosok yang benar-benar dapat
mensejahterakan rakyatnya bukan malah menyengsarakan dengan
perbuatan-perbuatan yang sangat dilarang
oleh agama, serta tidak hanya janji-janji palsu yang di lontarkan pada saat
pemilihan, namun lupa setelah apa yang diinginkan terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
http://luluvikar.wordpress.com/?Islam%20dan%20Politik
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah
http://www.hudzaifah.org/Article64.html
http://www.scribd.com/doc/17236048/Sejarah-Politik-Islam
W.J.S
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta: 1982
Robert
Klitgaard, Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1998
Syed Hussein Alatas, Sosiologi
Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman,
Cet.4. LP3ES, Jakarta: 1986
Kimberly
Ann Elliot, Korupsi Dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1999
[1]Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa, 2005), hal. 5.
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan…, hal. 5.
[3] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Jilid 1, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), hal. 225.
[4] Al-Jassas, Ahkam Al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr,
1993), hal. 344. Lihat juga, Thiba’iy, Al-Mzan fi Tafsir Al-Quran, Jilid
4 (Beirut: Muassasah al-A’lami, 1983), hal. 57.
[5] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…, Jilid 1, hal. 225.
[6] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…,Jilid 2, hal. 62-63.
[7] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…,Jilid 2, hal. 62-63.
[8] Ibnu Katsir, Al-Quran al-Azdhim, Jilid 1, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1992), hal. 517.
[9] Ibnu Katsir, Al-Quran…, Jilid 1, hal. 517.
[10] Muhamad Ali As-Shabuny, Mukhtasar Ibnu Katsir, Jilid 1
(Kairo: Dar as-Shabuni, tt.), hal. 332.
[11] Ibnu Arabi, Ahkam al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar Kutub
al-Ilmiyah, tt), hal. 392.
[12] Abd al-Qadir ‘Awdah menyebut hirabah ini sebagai sariqah kubr atau
pencurian besar di dalam bukunya Tasyri Jina’iy.
[13][ Muhammad Ali As-Shabuny, Rawaiulbayan Tafsir Ayat Ahkam,
Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 551-551.
[14][ Abd al-Qadir ‘Awdah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy, Jilid
2, (Beirut: Muassah Risalah, 1997), hal. 638-639.
[15]Ibnu Arabi, Ahkam..., Jilid 1, hal. 242. Lihat juga,
At-Thobary, Tafsir At-Thabary, Jilid 8, (Beirut: Dar-Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 1999), hal. 264.
[16] Taqiuddin, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1995), hal. 384. Lihat juga, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,
Jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr,1983), hal. 236.
[17] Al-Qurtuby, Al-Kaafy fi Fiqhi Ahli al-Madinah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 428.
[18] Sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal.
337.
[19] Ibnu al-Qayyim, Aunu al-Ma’bud, Jilid 5, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt.), hal. 359.
[20] Ibnu al-Qayyim, Aunu…, Jilid 5, hal. 359.
[21] Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), hal. 333.
[22] Sa’di Abu Jaib, Al-Qamus Al-Fiqhi, (Beirut: Dar al-Fikr,
1998), hal. 367 dan 390.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 337.
[24] Kafury, Tuhfatul Ahwazy, Jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt.), hal. 473.
[25]Orang kafir dengan kriteria khusus dalam fiqih. mereka masih
menentang Islam dan masih berupaya untuk memerangi Islam.
[26] Syaukani, Nailul Authar, Jilid 3, (Beirut: Dar al-Jail,
tt.), hal. 3.
[27] Syaukani, Nailul…, Jilid 3, hal. 5.
[28] Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 389.
[29] Muhammad Ar-Ruki, Nazriyat at-Ta’id al-Fiqhi wa Atsruha fi
Ikhtilafi al-Fuqaha, (Ribath: Mathba’ah An-Najah al-Jadidah, 1994), hal.
59.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking
jangan pernah takut untuk bicara selama anda masih diberi kesempatan untuk bicara.