Sondag 14 April 2013

KORUPSI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF



Tugas Kelompok                                                                                       Dosen Pembimbing
Tindak Pidana Korupsi                                                                              FIRDAUS, SH, MH

KORUPSI DITINJAU DARI PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

 

DI SUSUN OLEH:
AKMAL RUDIN
MUHAMAD QODRI


JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2013






KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT  yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam tak lupa pula penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahmat sekalian alam. Seiring dengan itu, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini menjelaskan secara ringkas Mengenai Korupsi ditinjau dari perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Akan tetapi, Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Karena “Tak ada gading yang tak retak”. Setiap kesalahan tidak akan luput dalam penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembaca.


Pekanbaru, 15 April 2013


Penulis





Daftar isi
Kata pengantar......................................................................................................................     i
Daftar isi................................................................................................................................    ii
BAB I PENDAHULUAN
 A.    Latar belakang................................................................................................................    1 
 B.     Rumusan masalah............................................................................................................    2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Korupsi dalam Islam......................................................................................      2
B.     Hukum Korupsi menurut Islam........................................................................................     11
C.     Pengertian Korupsi dalam Hukum Positif.........................................................................     19
 D.    Hukum Positif dalam menanggapi Kasus ini......................................................................    19
BAB III PENUTUP
  A.    Kesimpulan.....................................................................................................................   20
  B.     Saran..............................................................................................................................   21

Daftar Pustaka.......................................................................................................................    22
  

BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang
            Korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[1] Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang berlaku di Malaysia korupsi diartikan sebagai reswah yang dalam bahasa Arab bermakna suap.[2] Berbeda dengan korupsi dan suap, hadiah sesungguhnya adalah sebuah perbuatan yang tidak melanggar. Tetapi dalam hal ini perlu untuk meneliti apa sesungguhnya kriteria hadiah yang tidak merupakan korupsi ataupun suap.
            Salah satu tanggung jawab dan beban tugas yang harus dipikul dalam bidang politik hukum Islam, adalah mengkaji tentang korupsi dan sanksinya, karena di satu sisi para pelaku korupsi banyak yang beragama Islam dan di sisi lain dalam kitab-kitab fiqh klasik sulit ditemukan term korupsi, baik mengenai konsep maupun sanksinya, yang banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik berkenaan dengan tindakan kriminal dalam masalah harta adalah pencurian (al sariqoh), dan perampokan (al hirabah). Apakah tindakan korupsi dikategorian sebagai pencurian, perampokan, atau sesuatu yang lain?. Berbagai pendapat mengenai korupsi ini memang tidak menimbulkan perpecahan yang cukup besar dalam kalangan umat Islam pada umumnya. Tetapi rumusan atau kesatuan pendapat mengenai apa sebenarnya konsepsi korupsi menurut Hukum Islam sangatlah perlu dicari, Hal ini berguna bagi ulil amri (penguasa/pemimpin) dalam merumuskan sanksi yang tepat bagi korupsi. Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai konsepsi korupsi dalam perspektif Hukum Islam.

   B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
      1.      Apakah Korupsi dalam hukum islam?
      2.      Bagaimana hukuman Korupsi dalam islam?
      3.      Apakah Korupsi dalam hukum positif?
      4.      Bagaimana hukuman Korupsi dalam hukum positif?




BAB II
PEMBAHASAN

    A.    PENGERTIAN KORUPSI DALAM ISLAM
            Korupsi adalah suatu jenis penjambretan dan perampasan, karena pada mulanya si pelaku berbuat secara sembunyi-sembunyi. Korupsi tidak sama dengan pencurian, karena itu syari’at tidak menetapkan hukum potong tangan bagi pelakunya. Dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya Rasulullah bersabda :
“Tidak ada bagi khâin(=penghianat, org yang mengambil harta secara sembunyi dan menampakkan kebaikan kepada pemilik barang), muntahib (org yang mengambil barang dengan kekerasan, merampas) dan mukhtalis (=orang yg mengambil barang dengan cara tipuan, sembunyi-sembunyi) hukuman potong tangan”.
            Pada Surat Al-Baqarah ayat 188 disebutkan secara umum bahwa Allah Swt. melarang untuk memakan harta orang lain secara batil. Qurtubi memasukkan dalam kategori larangan ayat ini adalah: riba, penipuan, ghasab, pelanggaran hak-hak, dan apa yang menyebabkan pemilik harta tidak senang, dan seluruh apa yang dilarang oleh syariat dalam bentuk apapun.[3] Al-Jassas mengatakan bahwa pengambilan harta orang lain dengan jalan batil ini bisa dalam dua bentuk:
1.      Mengambil dengan cara zhalim, pencurian, khianat, dan ghasab (menggunakan hak orang lain tanpa izin).
2.      Mengambil atau mendapatkan harta dari pekerjaan-pekerjaan yang terlarang, seperti dari bunga/riba, hasil penjualan khamar, babi, dan lain-lain.[4]
      Asbabunnuzul ayat ini diturunkan kepada Abdan bin Asywa’ al-Hadhramy menuduh bahwa ia yang berhak atas harta yang ada di tangan al-Qais al-Kindy, sehingga keduanya bertengkar di hadapan Nabi Saw. Al-Qais membantah dan ia mau bersumpah untuk membantah hal tersebut, akan tetapi turunlah ayat ini yang akhirnya Qais tidak jadi bersumpah dan menyerahkan harta Abdan dengan kerelaan.[5]
      Pokok permasalahan dalam ayat di atas adalah larang memakan harta orang lain secara umum dengan jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke depan hakim, sedangkan jelas harta yang diambil tersebut milik orang lain. Korupsi adalah salah satu bentuk pengambilan harta orang lain yang bersifat khusus. Dalil umum di atas adalah cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah satu bentuk khusus dari pengambilan harta orang lain. Ayat di atas secara tegas menjelaskan larangan untuk mengambil harta orang lain yang bukan menjadi haknya.
      Selanjutnya pada surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang bermakna khianat.[6] Maksudnya mengkhianati kepercayaan Allah Swt. dan manusia,[7] terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghanimah. Lebih jelas Ibnu Katsir menyebutkan dari Aufy dari Ibnu Abbas bahwa ghulul adalah membagi sebagian hasil rampasan perang kepada sebagian orang sedangkan sebagian lagi tidak diberikan.[8]
      Asbabunnuzul ayat ini adalah ketika sebuah harta rampasan perang setelah perang badar hilang, orang-orang munafiq menuduh bahwasanya Nabi Saw. menggelapkan barang tersebut, sehingga turunlah ayat ini.[9]
        Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam segala bentuk.[10] Ibnu Arabi menyebutkan bahwa secara bahasa makna ghulul ada tiga, yaitu khianat, busuk hati, dan khianat terhadap amanat ghanimah.[11] Ayat ini secara khusus ditujukan kepada Nabi Saw. tentang keadilan di dalam pembagian harta ghanimah yang berasal dari rampasan perang, akan tetapi maksud ayat ini ditujukan umum kepada seluruh umat Islam. Ketika Muadz diutus ke Yaman, Rasulullah Saw. juga memberikan nasehat untuk tidak berlaku ghulul, sebagaimana disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
      Ayat ini secara spesifik memang hanya membahas tentang penyalahgunaan harta bersama untuk dikuasai sendiri, akan tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang tidak boleh berlaku khianat atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan salah satu makna korupsi bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan terhadap harta orang lain atau masyarakat.
      Analog korupsi dengan ghulul menurut penulis adalah cukup dekat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Korupsi adalah penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga merupakan penyalahgunaan harta negara, karena memang pemasukan harta negara pada zaman Nabi Saw. adalah ghanimah. Adapun saat ini permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghanimah, tetapi semua bentuk uang negara.
2.      Korupsi dilakukan oleh pejabat yang terkait, demikian juga ghulul merupakan pengkhianatan jabatan oleh pejabat yang terkait.
            Selanjutnya di dalam Surat Al-Maidah ayat 33 dan 38 disebutkan secara khusus tentang hirabah[12] dan sariqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan yang kedua adalah pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diam-diam.[13] Abd al-Qadir ‘Awdah[14] mendefinisikan hirabah sebagai perampokan (qath,u at-thuruq) atau pencurian besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sariqah) memang tidak sama persis dengan hirabah. Hirabah mempunyai dampak lebih besar karena dilakukan dengan berlebihan. Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja tanpa pengambilan harta.
            Secara khusus korupsi adalah identik dengan pencurian atau sariqah, akan tetapi pelaksanaan korupsi disertai dengan berbagai macam dalih yang lebih membutuhkan penelitian dan pembuktian. Korupsi memberikan dampak negatif yang sangat besar di masyarakat, apalagi dengan kasus-kasus yang saat ini terjadi di Indonesia. Korupsi tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Oleh karena itu menurut penulis korupsi berdasarkan hal ini secara illat korupsi lebih condong kepada hirabah.
            Dalam hukuman bagi pelaku sariqah dan hirabah juga berbeda. Menurut penulis pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor bisa mengambil landasan dari ayat hirabah ini. Karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam delik hirabah ini. Berbeda dengan pasal pencurian yang hanya dengan potong tangan. Pencurian relatif lebih kecil dibandingan dengan hirabah. Demikian juga dengan apabila dibandingkan dengan korupsi. Pencurian biasa yang dilakukan oleh seorang kriminal murni mungkin relatif lebih kecil dampaknya jika dibandingkan dengan korupsi yang akan membahayakan banyak orang dan bahkan negara.
            Selanjutnya yang termasuk dalam kategori korupsi adalah ghasab. Ayat 79 dari surat Al-Kahfi adalah menceritakan seorang raja yang zalim yang akan mengambil kapal dari orang-orang miskin dengan jalan ghasab. Seorang alim yang dikisahkan dalam ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar supaya tidak bisa dimanfaatkan dengan tidak halal (ghasab) oleh raja yang zalim tersebut.[15]
            Pengertian ghasab adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan dengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghasab dilakukan dengan terang-terangan sedangkan ketika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka dinamakan pencurian.[16] Hanya ghasab ini kadang berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang dikembalikan kepada pemiliknya.[17]
            Menganalogikan ghasab sebagai salah satu bentuk korupsi dengan alasan bahwa ayat di atas menceritakan bagaimana seorang raja yang semena-mena dapat dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya yang miskin dengan memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk kepentingan pribadinya. Pada kasus ini ada unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan menggunakan hak rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.
            Semua bentuk-bentuk pengambilan hak orang lain di atas jelas-jelas telah dilarang dan diwanti-wanti oleh Rasulullah ketika haji wada’[18] dengan sabda Beliau: Artinya: Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, dan kehormatan-kehormatanmu adalah haram bagimu sebagaimana haramnya hari kalian ini di dalam bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.
            Pembahasan selanjutnya adalah tentang suap (risywah) yang terdapat di dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Majah. Pengertian suap menurut Ibnu al-Qayyim adalah sebuah perantara untuk dapat memudahkan urusan dengan pemberian sesuatu atau pemberian untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batil.[19] Ayat di atas mengaitkan kata suap dengan kata hukum. Bahwa penyuapan adalah dilakukan demi mengharapkan kemenangan dalam perkara yang diinginkan seseorang, atau ingin memudahkan seseorang dalam menguasai hak atas sesuatu.
            Lebih lanjut dijelaskan apabila pemberian tersebut dimaksudkan untuk menuntut hak atau menghindarkan diri dari dizhalimi maka menurut beliau hal tersebut tidak apa-apa dan bukan kategori suap yang dilaknat. Hanya saja pendapat ini dibantah oleh Syaukani yang mengatakan bahwa pengkhususan tentang pemberian untuk menuntut hak tidak memiliki dasar yang jelas, yang benar menurut beliau kembali kepada keumuman Hadits yang menyebutkan larangan segala bentuk pemberian dalam bentuk suap.[20]
                Selanjutnya pembahasan terakhir dalam kajian ini adalah tentang hadiah. Di atas telah dijelaskan bahwa hadiah adalah pemberian yang bisa bermaksud kenang-kenangan, penghargaan dan penghormatan.[21] Adapun hadiah dalam pengertian fiqih Islam hampir sama dengan hibah, yaitu pemberian sesuatu untuk memuliakan seseorang tanpa mengharap balasan.[22] Akan tetapi menurut Sayyid Sabiq hadiah sebaiknya orang yang diberi memberikan balasan setelah diberi hadiah[23]. Hadits di awal menyebutkan bahwa seandainya Nabi Saw. diundang untuk menerima kura’ (bagian lengan sampai dengan siku dari binatang seperti kambing)[24] maka beliau akan datang. Hal ini menunjukkan penghargaan beliau untuk menerima pemberian ataupun hadiah.
            Pada Hadits di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. senang untuk menerima hadiah, bahkan juga dari orang kafir yang bukan kafir harbi[25]. Hal ini berdasarkan sebuah Hadits.[26]
            Dalam permasalahan hadiah ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama tentang apakah hadiah harus dibalas dengan hadiah ataukah tidak mesti harus dibalas. Dalam hadits dari Abu Hurairah dijelaskan dalam bentuk kalimah: Artinya saling memberikan hadiah. Namun belakangan dalam qaul jadid Imam Syafi’i sebagaimana dikutip Syaukani[27] bahwa pemberian untuk mengharapkan diberi balasan dari orang yang diberi adalah batil, karena merupakan bentuk jual beli terselubung yang tidak ada keridhaan dan saling menyenangkan.
            Pemberian hadiah dan pemberian suap adalah dua bentuk pekerjaan yang dalam prakteknya banyak orang mengaburkan sifat dan fungsi keduanya. Masing-masing sesungguhnya berada pada dua sisi yang berbeda dalam kedudukannya dalam hukum Islam. Hadiah sesungguhnya adalah pekerjaan mubah bahkan sunnah yang dianjurkan Nabi Saw., bahkan menurut Khitabi sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa Hadits yang melarang menerima hadiah dari orang kafir telah dihapus dengan perbuatan Nabi Saw yang menerima hadiah lebih dari satu kali dari orang-orang kafir.[28]
            Sedangkan suap adalah pekerjaan yang dilarang dan pelaku dan penerimanya adalah dilaknat. Walaupun kadang tampak pemberian suap ini seperti hadiah tetapi sesungguhnya suap akan selalu terkait dengan permasalahan hukum atau pelaksanaan hak-hak dan kewajiban orang yang memberi dan yang diberi. Oleh karena itu menurut penulis wajar jika ada aturan bagi pejabat-pejabat pemerintahan atau hukum untuk tidak menerima apapun dari orang yang berhubungan dengan mereka walaupun itu kadang dinamakan dengan hadiah. Ada sebuah kaedah yang berbunyi, Artinya: Sesuatu yang mubah jika menyebabkan atau mengarahkan kepada yang haram maka hukumnya haram.[29]
            Dalam hal pemberian hibah atau hadiah adalah pekerjaan mubah yang dibolehkan, akan tetapi jika pekerjaan yang bersifat mubah ini menyebabkan ke arah penyuapan atau menyebabkan tidak adilnya seseorang dalam menetapkan hak-hak dan kewajiban atau tidak adil dalam menetapkan hukum, maka hukum pemberian ini bisa menjadi haram.
            Kesimpulannya, korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak defenisi yang sesuai dengan pemahaman dari Al-Quran, Hadits dan juga Fiqih Islam. Pada hakekatnya defenisi korupsi adalah usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan jalan melanggar hukum. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran hukum tersebut adalah bisa berupa ghulul, pencurian (sariqah), perampokan (hirabah), menggunakan barang orang lain tanpa izin (ghasab), suap (risywah). Hanya saja menurut penulis jika perbuatan korupsi jelas-jelas mengarah kepada perusakan makro ekonomi dan sosial negara, maka hal tersebut layak untuk ditetapkan sebagai kategori hirabah. Hukuman bagi pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan sampai hukuman mati.
                        Korupsi adalah perbuatan haram yang haramnya lebih berat jika kejahatan itu dilakukan terhadap harta kekayaan milik umum. Rasulullah SAW bersabda :
            “Hai manusia, siapa saja diantara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti. … Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang kami beri padanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah ia ambil”.
            Syariat Islam memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi, antara lain:
                        Pertama, sistem penggajian yang layak. Kita bisa membayangkan bagaimana mungkin gaji 57 ribu tenaga kerja asing di Indonesia sama dengan gaji 4 juta tenaga kerja lokal (1: 70) padahal para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang layak. Rasul bersabda: “Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki kendaraan hendaknya diberi… Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat curang atau pencuri”. (HR Abu Dawud).
Dalam riwayat Al Hakim:
            “Barang siapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka apa yang diambil selain gaji itu adalah kecurangan”. (hadits shahih menurut syarat syaikhain (Bukhary dan Muslim) namun mereka tidak mengeluarkannya)
                        Kedua, larangan menerima hadiah. Hadiah–atau sering dinyatakan sebagai “hibah”–yang diberikan kepada aparat pemerintah bisa membuat aparat pemerintah tersebut terpengaruh dalam mengambil keputusan atau memberikan pelayanan.
                        Ketiga, perhitungan kekayaan. Untuk menghindari tindakan curang, perhitungan kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang sebenarnya efektif mencegah aparat berbuat curang. Akan tetapi, anehnya cara ini justru ditentang untuk dimasukkan ke dalam perundang-undangan.
                        Keempat, penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka peluang korupsi. Demikian juga dengan prosedur hukum yang diskriminatif, misalnya memeriksa pejabat tinggi atau anggota DPR harus seizin kepala negara. Akibatnya, tidak jarang jika korupsi menyentuh lapisan elit itu, penyidikan biasanya terhenti. Dalam Islam, aturan yang membedakan pejabat tinggi dari rakyat biasa ini tidak dikenal.
                        Kelima, hukuman setimpal. Secara naluriah, orang akan takut menerima risiko yang tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya. Risiko dalam bentuk hukuman berfungsi sebagai pencegah. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zîr, yaitu hakim bisa mencari bentuk hukuman yang diperkirakan paling efektif bagi kasus tersebut, misalnya berupa tasyhîr (pewartaan), penyitaan harta, pemecatan, kurungan, kerja paksa, sampai hukuman mati.

    B.     HUKUM KORUPSI MENURUT ISLAM
            Salah satu penyakit dan ancaman sosial yang sangat laten adalah pencurian dalam berbagai manivestasi dan bentuknya, baik milik pribadi, milik orang lain, maupun milik umum (publik), baik secara langsung maupun melalui jabatan, otoritas dan fasilitas politik dan hukum yang dimilikinya, sehingga seorang pakar menyebut bangsa yang teridap wabah hobi bersama “mencuri rame-rame” dari yang kecil-kecilan sampai korupsi kelas kakap sebagai bangsa cleptomania, seperti bangsa Indonesia ini. Para koruptor lebih suka korupsi rame-rame, seolah berprinsip meminjam slogan sebuah iklan “nikmatnya rame-rame” sehingga sulit ditindak. Tindak kejahatan penyelewengan dan penilepan harta milik publik apa yang dikenal sebagai tindakan korupsi (corruption) sebenarnya dari bahasa latin (corruptio yang artinya ‘penyuapan’; dari corrumpere yang artinya ‘merusak’). Korupsi merupakan perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat merugikan negara atau pihak lain.
            Syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia apa yang disebut sebagai maqashidusy syari’ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Hukum perbuatan korupsi, menurut pendapat ulama fiqih, secara aklamasi dan konsensus (ijma’) adalah haram karena bertentangan dengan prinsip maqashidusyi syari’ah. Keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi antara lain sebagai berikut.

Pertama: korupsi adalah perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan negara dan kepentingan publik (masyarakat) yang dikecam oleh Allah S.W.T. Dalam surah al-Imran: 161 dengan hukuman setimpal di akhirat. Ayat ini turun berkaitan peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Jarir yaitu hilangnya sehelai kain wol merah yang diperoleh dari rampasan perang. Setelah dicari, sehelai kain itu tidak ada dalam catatan inventaris harta rampasan perang sehingga ada yang lancang berkata, “Mungkin Rasulullah SAW sendiri yang mengambil kain itu untuk dirinya.” Agar tuduhan tersebut tidak menimbulkan keresahan dikalangan umat islam dan membersihkan citra beliau maka turunlah ayat tersebut diatas yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mungkin berlaku korup dan curang dalam amanah harta publik berupa rampasan perang. Bahkan Nabi mengancam siapapun yang mengkorup harta milik negara (ghulul) akan menjadi bara api nantinya di neraka dan demikian pula amalnya yang berasal dari hasil khalifah Umar bin Abdul Aziz (63-102 H) yang memerintahkan kepada putrinya untuk mengembalikan kalung emas yang dihibahkan oleh pengawas perbendaharaan negara (baitulmal) sebagai tanda jasa dan penghormatan kepada ayahnya.

Kedua: perbuatan korupsi berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan. Mengkhianati amanat adalah perbuatan dosa dan salah satu karakter munafik yang dibenci Allah S.W.T sehingga hukumannya haram (al-Anfaal: 27 dan an-Nisaa: 58).

Ketiga: perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dan orang lain dari harta negara adalah perbuatan zalim, karena kekayaan negara adalah harta publik yang berasal dari jerih payah masyarakat termasuk kaum miskin dan rakyat kecil. Perbuatan zalim ini patut mendapatkan azab yang pedih (az-Zhukruf: 65).

Keempat: termasuk kategori korupsi adalah tindakan kolusi dengan memberikan fasilitas negara seseorang yang tidak berhak karena deal-deal tertentu, seperti menerima suap (pemberian) dari pihak yang diuntungkannya tersebut. Perbuatan ini sangat dikutuk Nabi SAW dalam sabdanya, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap.” Dalam riwayat lain disebutkan “ Dan perantaranya” (HR. Ahmad). Dan, peringatan beliau dalam sabdanya, “barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu jabatan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang dipungutnya tanpa sah diluar gajinya adalah korupsi (ghulul).” (HR. Abu Dawud).
            Adapun hukum memanfaatkan hasil korupsi, termasuk memakainya untuk konsumsi atau belanja pribadi dan keluarga, sumbangan sosial dan biaya ibadah, atau kepentingan lainnya, hukumnya sama dengan memanfaatkan harta hasil usaha yang haram seperti judi, mencuri, menipu, merampok, dan sebagainya. Dalam hal ini, ulama fiqih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh secara ilegal, tidak sah dan haram adalah haram, juga sebab pada prinsipnya harta tersebut bukan hak miliknya yang sah sehingga tidak berhak untuk menggunakannya meskipun dijalan kebaikan (al-Baqarah: 188 dan Ali Imran: 130). Sebagaimana ketentuan kaidah fiqih yang menyatakan, “setiap sesuatu yang haram mengambilnya maka haram pula memberikan/memanfaatkannya.” Pendapat dan ketentuan ini juga didukung oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan harta tersebut harus dikembalikan kepada kepemilikan publik atau negara. Berdasarkan hadist tersebut diatas maka menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tidak sah solat dan haji serta ibadah lainnya yang menggunakan harta hasil korupsi. Disamping itu, dalil lain menguatkannya seperti hadist Nabi SAW, “sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR ath-Thabrani) dan sabdanya, “jika seseorang menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai melantunkan seruan Talbiyah, datanglah seruan dari langit, Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu bahagia. Pembekalanmu halal, kendaraanmu halal, maka hajimu diterima dan tidak tercampur dosa. Sebaliknya, jika pergi haji dengan harta yang haram, maka hajimu berdosa dan jauh dari pahala.” (HR ath-Thabrani).  Sebab, ibadah dan kegiatan sosial bukan sebagai sarana penyucian uang haram (Money Laundring) dan bukan sarana pencitraan diri yang korup sebagai manusia suci.
           
            Dengan demikian, sangat logis bila hukumannya sangat berat menimbang prinsip maslahat tersebut. Para ulama fiqih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana Takdzir yang hukumannya diserahkan kepada hakim menurut kemaslahatan yang semestinya dan dapat lebih ringan, sama maupun lebih berat dari hukuman hudud bergantung kepada kasus dan kemudaratannya. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana Takdzir meskipun secara umum ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hudud-nya berupa potong tangan dengan memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, penentuan sanksi hukuman Takdzir korupsi, baik jenis, untuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang harus tetap mengacu kepada maqashidusy syariah  sehingga dapat memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya. Sebagai ilustrasi hukuman korupsi, penerapan hukuman takzir dalam sejarah peradilan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Abdul Qadir Audah (w. 1945) ahli pidana Islam Mesir dalam Tasyri Jina’-nya dibagi menjadi dua bentuk yaitu 1, takdzir’alal ma’ashi (terhadap perbuatan maksiat) dan 2, takdzir ‘ala mashlahah ‘amah (terhadap pelanggaran kepentingan umum).
            Bagi para pelaku KKN di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat merugikan negara maka hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang dilakukannya, sesuai amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang ditimbulkannya serta kesalahan lain yang didukungnya. Dan, tentunya ia dapat dihukum berat bahkan sampai tingkat hukuman mati bila perlu dan bukan hanya sebatas hukuman potong tangan untuk menjerakan masyarakat dari praktik korupsi dan menyehatkan perekonomian sebagaimana telah dilaksanakan di negara-negara lain seperti Cina, Jepang, dan Korea Utara. Namun masalahnya adalah para penegak dan aparat hukum serta petinggi negara harus memberi contoh sebagai clean govenrment yang bebas dari KKN sehingga mampu memberantas koruptor dan menghukum berat para koruptor tanpa pandang bulu, seperti yang dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Khulafaur Rasyidin sebelumnya serta maklumat Nabi SAW. yang menyatakan bahwa sekalipun putrinya sendiri mencuri niscaya akan dilaksanakan hukuman potong tangan. Dengan demikian, terbuktilah bahwa syariat Islam sebenarnya bernilai universal dan selalu rahmatan lil ‘alamin.

   C.     PENGERTIAN KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF
                        Kata koropsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corroptus yang berarti merusak, tidak jujur (bohong), dapat disuap, atau sesuatu yang rusak atau hancur. Dalam kamus besar bahasa Indonesia menyebutka korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan uang Negara atau perusahaan dan sebaginya untuk keuntungan pribadi dan orang lain. Bahasa inggris menyebutkan a corrupt manuscript yang berarti naskah yang rusak dan juga dapat digunakan kerusakan tingkah laku (immoral) atau tidak jujur (dishonest), juga tidak besih (impure).

1)      Sayyid Hussein alatas menegaskan “esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang menghianati kepercayaan”.
2)      Azyumardi Azra mendefenisikan “penggunaan kekuasaan public (public power) untuk mendapatkan keuntungan (material) pribadi atau kemanfaatan politik.

                        Secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, pasal 2 ayat 1 "perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau satu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan dalam pasal tiga juga disebutkan bahwa "korupsi adalah setiap tindakan dengan tujuan menguntukan diri sendiri atau orang lain atau satu koperasi, menyalah gunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

1.      MODUS-MODUS KORUPSI
      Banyak para pakar yang memberikan bahwa korupsi memiliki berbagai modus diantaranya adalah Amien Rais mantan ketua MPR dan mantan ketua PP Muhammadiah dan Alatas. Amien Rais menyebutkan ada empat modus korupsi yitu:

a.       korupsi ekstortif
adalah korupsi dengan modus sogokan atau suap yang dilakukan oleh pengusaha kepada pengusaha, untuk mendapatkan fasilitas tertentu.

b.      korupsi manipulative
mengandung arti permitaan seseorang kepada pejabat legislative atau pejabat eksekutif untuk membuat regulasi atau peraturan tertentu yang dapat menguntungkan orag tersebut meskipun itu berdampak negative bagi masyarakat luas.

c.       korupsi nepotistic
yaitu korupsi dikernakan adnya ikatan keluarga , seperti dia memiliki keluarga yang ia berikan fasilitas yang berlebihan atau di terima menjadi pegawai tanpa ada pertimbangan atau hal-hal yang patut untuk dia menyandang predikat tersebut.

d.      korupsi subversive
yaitu perampokan kekayaan Negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan kepada pihak asing untuk kepentingan pribadi.
                       
                        Kemudian Alan memberikan modus-modus korupsi membagi kedalam enam modus yaitu:
a.       transaktif
korupsi yang ditandai adanya jesepakatan timbale balik antara pihak pembeli dan penerima keuntungan beersama, dan kedua-duanya sama-sama aktif dalam menjalankan perbuatan ini.

b.      investif
modus korupsi yang melibatkan penawaran barang atau jasa tertentu agar pekerjaan atau tugas si pemberi jasa mendapatkan keuntungan sebanyak munkin.

c.       Ekstroktif
bentuk korupsi dengan cara menyertakan bentuk-bentuk pemaksaan dari pihak tertentu untuk melakukan penyuapan dengan cara memberikan sejumlah uang atau jasa untuk menutupi kerugian yang mengancam dirinya.

d.      Autogenetic
      modus korupsi yan menggunakan kesempatan untuk memperoleh keutnunga dari pengetahuan dan pemahaman atas sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

e.       Supportif
dengan cara menciptakan suasana kondusif dengan cara menciptakan suasana kondusif untuk melindungi atau mempertahankan kelangsungan tindak pidana korupsi tertentu.

                        Modus-modus lain juga dikemukakan United Nation Office on Drugh and Crime, sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ada sembilan modus korupsi;
1. korupsi besar dan kecil
2. korupsi aktif dan tidak aktif
3. korupsi suap dalam bebagai bentuk dan tujuannya
4. korupsi dengan modus penggelapan
5. korupsi bermodus pemerasan
6. korupsi bermodus penyalah gunaan kekuasaan
7. korupsi dengan modus favoritisme
8. korupsi dengan modus membuat atau mengeksploitasi kepentingan yang saling bertentangan
9. korupsi yangbermodus kontribusi politik yang berlebihan dan tidak tepat.

                        Dari modus-modus diatas sebenarnya apayang menyebabkan korupsi begitu subur dinegara tercita ini, padahal di Negara-negara Asia Indonesia adalah Negara pertama yang memilki undang-undang tinadak pidana korupsi sejak tahun 1957. Yang menjadi pertanyaan besar sekarang ini adalah kenapa korupsi begitu marak di negeri tercinta ini?. Masalah korupsi bias disebabkan banyak sebab, baik individual maupun social, diantaranya adalah kemiskinan, moral yang kurang, kekuasaan, budaya, ketidak tahuan, lemahnya kelembagaan politik, adanya kesempatan, penyakit bersama, dan berbagai jenis lainnya. Penyakit itulah yang menyebabkan korupsi semakin tumbuh liar tak terkendalaikan, bahkan yang lebih parah lagi adalah banyak koruptor yang menganggap hal ini sebagai kebiasaan yang sudah lumrah, sehingga dia tidak merasa berdasa ketiaka ia terjerumus dalam masalah ini, bahkan banyak tersengka yang tidak malu bahwa dia tidak mengakui bahwa sanya dia korpsi, padahal fakta telah membuktikan dia bersalah. Dan yang paling terpenting adalah korupsi banyak terjadi dikernakan menipisnya keimanan sehingga ia tidak malu menghianati kepercaan masyarakat, dan amanah masyarakat dan tuhannya.

Jika sebab-sebab diatas disimplifikasikan, modus-modus korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal:
1.      corruption by greed
      korupsi karena keserakahan, rasa tidak puas apa yang telah ia miliki, dan senantiasa ingin ia perolaeh dengan menghalalkan segala cara.
2.      corruption by need
korupsi dikernakan kebutuhan, yaitu kebutuhan yang amat ia perlukan yang tidak dapat tidak, maka dia dengan terpaksa mengambil yang bukan haknya, disinilah kita perlu memperhatikan pegawai atau burh kita yang kehidupannya kurang memadai dan di bawah wajar.
3.      corruption by chance
korupsi dikernakan ada peluang atau kesempatan, disinilah letak pentingnya undang-undang yang disususn untuk mempersempit kesempatan gerak-gerik para koruptor.

    D.    HUKUM POSITIF DALAM MENANGGAPI KASUS INI
            Banyak undang-undang pidana yang mengatur masalah korupsi ini sebagai mana Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/061957 tentang tindak pidana koupsi. Tahun 1967 terbit undang-undang No. 24/Prp/1967 dan Kepres No. 228/1967 tentang pemberantasan korupsi. Demikian seterusnya sampai pada tahun 1998 terbit TAP MPR No. XI/MPR1998 tentang pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, tahun 1999 terbit UU No. 28/1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU No. 31/1999 tentang pembarantasan tindak pidana korupsi, tahun 2002 terbit UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2004 terbit kepres No. 59/2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan tahun 2005 terbit kepres No. 11/2005 tentang tim koordinasi pemberantasan Tipikor.

                        Dalam perspektif hokum positif di Indonesia, defenisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001, dan dalam UU tersebiut juga disebutkan sanksi bagi yang melanggar.

                        Seperti perseorangan atau korporasi yang melawan hokum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara dipidana penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00, bahkan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi pidana mati. Sedangkan perorangan atau korporasi menyalahgunkan kewenangan, kesempatan atau pasilitas yang ada padanya, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 dan paling banyak Rp 1.000.000.00

                        Dalam UU No. 20 tahun 2001 disebutkan bahwa menyuap pegawai negeri adalah korupsi, dan pelakunya di ancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 dan paling banyak Rp 250.000.000.00 dan memberi hadiah kepada pegawai negeri juga termasuk korupsi. Jadi segala bentuk penyuapan digolongkan kepada korupsi.





BAB III
PENUTUP
   A.    KESIMPULAN
            Perlunya hukuman yang berat bagi para pelaku korupsi karena dapat menyengsarakan kehidupan raktyat, tidak hanya hukum potong tangan, tetapi perlu hukuman mati bagi para pelaku korupsi di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat merugikan negara maka hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang dilakukannya, sesuai amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang ditimbulkannya serta kesalahan lain yang didukungnya.
            Dari penjabaran di atas dapat diambil kesimpulan bahwa korupsi adalah Dari bahasa latin , seperti: dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi corruptie. Arti harfiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti dari kesucian, dapat disuap. Poerwadarminta  mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
            Seorang yang melakukan korupsi itu harus melawan Hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, dapat merugikan keuangan negara suatu perekonomian negara, bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya.
            Setidaknya ada tigal hal yang yang tercederai dalam korupsi:
1.      korupsi mengabadikan diskriminasi
2.      korupsi mencegah perwujudan pemenuhan hak ekonomi, social, dan budaya rakyat, terutama rakyat miskin
3.      korupsi memimpin kearah pelanggaran hak sipil polotik warga
      Yang lebih menyedihkan bahwa korupsi telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dengan merampok dan membunuh masa depan masyarakat dan Negara secara perlahan-lahan tapi pasti.



     B.     SARAN
            Bagi para pemimpin bangsa seharusnya mempunyai bekal ilmu agama yang kuat agar tidak mudah terjerumus kepada hal-hal yang  tidak baik,  dan dapat menjadi sosok yang benar-benar  dapat mensejahterakan rakyatnya bukan malah menyengsarakan dengan perbuatan-perbuatan  yang sangat dilarang oleh agama, serta tidak hanya janji-janji palsu yang di lontarkan pada saat pemilihan, namun lupa setelah apa yang diinginkan terwujud.











DAFTAR PUSTAKA

http://luluvikar.wordpress.com/?Islam%20dan%20Politik
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah
http://www.hudzaifah.org/Article64.html
http://www.scribd.com/doc/17236048/Sejarah-Politik-Islam
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta: 1982
Robert Klitgaard, Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1998
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman, Cet.4. LP3ES, Jakarta: 1986
Kimberly Ann Elliot, Korupsi Dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1999



[1]Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), hal. 5.
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan…, hal. 5.
[3] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), hal. 225.
[4] Al-Jassas, Ahkam Al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hal. 344. Lihat juga, Thiba’iy, Al-Mzan fi Tafsir Al-Quran, Jilid 4 (Beirut: Muassasah al-A’lami, 1983), hal. 57.
[5] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…, Jilid 1, hal. 225.
[6] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…,Jilid 2,  hal. 62-63.
[7] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…,Jilid 2,  hal. 62-63.
[8] Ibnu Katsir, Al-Quran al-Azdhim, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 517.
[9] Ibnu Katsir, Al-Quran…, Jilid 1, hal. 517.
[10] Muhamad Ali As-Shabuny, Mukhtasar Ibnu Katsir, Jilid 1 (Kairo: Dar as-Shabuni, tt.), hal. 332.
[11] Ibnu Arabi, Ahkam al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 392.
[12] Abd al-Qadir ‘Awdah menyebut hirabah ini sebagai sariqah kubr atau pencurian besar di dalam bukunya Tasyri Jina’iy.
[13][ Muhammad Ali As-Shabuny, Rawaiulbayan Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 551-551.
[14][ Abd al-Qadir ‘Awdah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy, Jilid 2, (Beirut: Muassah Risalah, 1997), hal. 638-639.
[15]Ibnu Arabi, Ahkam..., Jilid 1, hal. 242. Lihat juga, At-Thobary, Tafsir At-Thabary, Jilid 8, (Beirut: Dar-Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999), hal. 264.
[16] Taqiuddin, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), hal. 384. Lihat juga, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr,1983), hal. 236.
[17] Al-Qurtuby, Al-Kaafy fi Fiqhi Ahli al-Madinah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 428.
[18] Sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 337.
[19] Ibnu al-Qayyim, Aunu al-Ma’bud, Jilid 5, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 359.
[20] Ibnu al-Qayyim, Aunu…, Jilid 5, hal. 359.
[21] Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 333.
[22] Sa’di Abu Jaib, Al-Qamus Al-Fiqhi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal. 367 dan 390.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 337.
[24] Kafury, Tuhfatul Ahwazy, Jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 473.
[25]Orang kafir dengan kriteria khusus dalam fiqih. mereka masih menentang Islam dan masih berupaya untuk memerangi Islam.
[26] Syaukani, Nailul Authar, Jilid 3, (Beirut: Dar al-Jail, tt.), hal. 3.
[27] Syaukani, Nailul…, Jilid 3, hal. 5.
[28] Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 389.
[29] Muhammad Ar-Ruki, Nazriyat at-Ta’id al-Fiqhi wa Atsruha fi Ikhtilafi al-Fuqaha, (Ribath: Mathba’ah An-Najah al-Jadidah, 1994), hal. 59.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking

jangan pernah takut untuk bicara selama anda masih diberi kesempatan untuk bicara.